BILA politisi di Amerika dan Malaysia telah terbukti sukses dalam menjaring suara lewat komunitas blogger dan pengguna internet lainnya, maka tidak demikian halnya dengan politisi di Sumatra Barat. Dari 1.062 calon DPD, DPR RI dari Sumbar dan DPRD Sumbar yang akan bertarung (tidak termasuk caleg kabupaten/kota yang ribuan banyaknya), hanya segelintir yang memanfaatkan teknologi internet.
Menyambung tulisan dari salah seorang anggota Komisi Pemilihan Umum Sumbar, Husni Kamil Manik yang pernah dimuat di Harian Singgalang 16 Desember 2008 tentang membidik komunitas blogger. Dengan berbagai fasilitas dan dinamika blog, komunitas blogger dinilai Husni bakal menjadi mitra penting bagi suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2009. Tidak tertutup kemungkinan untuk Pemilu di Sumbar.
Namun, untuk media kampanye para calon legislatif, komunitas blogger dan pengguna internet sepertinya tidak menjadi sasaran kampanye yang dinilai menjanjikan oleh para politisi Sumbar. Karena kalau para caleg itu berpikiran yang sama dengan Barrack Obama ataupun Tony Pua Kiam Wee, politisi Malaysia yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen dengan mengandalkan kampanye di media blog, pastinya sudah banyak blog ataupun situs pribadi milik para caleg yang berseliweran di internet. Karena, Pemilu hanya tinggal kurang dari 90 hari lagi.
Saat menjelajah di dunia maya dengan kata kunci caleg Sumbar, para caleg yang memiliki blog ataupun web sendiri hanya bisa dihitung dengan jari. Sebutlah Jeffrie Geovanie (Caleg DPR RI untuk wilayah Sumbar I dari Partai Golkar), Indra Jaya Piliang (Caleg DPR RI untuk wilayah Sumbar II dari Partai Golkar) dan Irwan Prayitno (Caleg DPR RI dari PKS). Sementara, yang berdomisili di Sumbar, ada Marhadi Efendi dengan blogspotnya. Dari ke empat orang itu, kebanyakan lebih pada pencitraan lewat profil, aktifitas-aktifitas yang dilakukan serta pokok-pokok pikiran dalam tulisan. Hanya Marhadi Efendi yang terang-terangan mengampanyekan foto disertai pemberitahuan bahwa dirinya adalah caleg DPD RI no 22 Dapil Sumbar.
Yang menyedihkan, untuk blog Marhadi Efendi yang dibuat sejak September 2008, saat dibuka tanggal 6 Januari, baru 55 pengunjung yang melihat profil pribadinya. Mungkinkah memang pengguna internet yang masih sedikit di Sumbar? Karena, yang akan membuka data pribadi calon anggota dewan untuk daerah Sumbar kemungkinan besar adalah masyarakat Sumbar sendiri yang akan ikut memilih. Ataukah sifat dari blogger kita (di Indonesia dan Sumbar khususnya) lebih pada ‘just having fun’? Memanfaatkan blogger hanya untuk saling berkenalan dan mencari peluang pekerjaan, barangkali!
Merunut kembali pada perjalanan panjang kampanye Barrack Obama, presiden Amerika Serikat terpilih yang disebut-sebut mendulang sukses besar karena memanfaatkan internet sebagai media kampanye. Tidak hanya image dan pencitraan bagus yang ia dapat, tapi lebih dari itu: dana kampanye melalui pengiriman online yang jumlahnya bahkan tidak tertandingi oleh lawan politiknya. Ia diklaim berhasil memperoleh dana kampanye mencapai 1 miliar dolar AS.
Selain sosialisasi, Obama juga mendapatkan sekitar satu juta suporter dari jaringan internet seperti facebook, friendster, youtube dan myspace. Lewat jaringan itulah, Obama menyapa para pendukungnya serta masyarakat pemilih yang semula belum tentu akan memilihnya.
Untuk negara maju seperti AS, hal seperti itu tentulah sangat memungkinkan. Apalagi, pengguna internet di negara itu mencapai sekitar 80 persen dari jumlah penduduknya. Demikian juga halnya dengan Malaysia dengan pengguna internetnya sudah sekitar 59 persen.
Sementara Indonesia, pengguna internet diperkirakan baru sekitar 10 persen. Dan, Sumbar mungkin juga berkisar pada persentase itu atau malah kurang.
Malah, pada satu acara pertemuan blogger beberapa bulan yang lalu di Gedung Bagindo Aziz Chan, Padang, salah seorang mahasiswa perguruan tinggi Padang menyatakan, dari 20 rumah kos sekitar kampusnya, belum ada yang memiliki e-mail!
Akhirnya, pilihan kampanye kembali pada kampanye konservatif seperti yang sudah-sudah: memberikan bantuan untuk korban bencana (sambil foto bersalaman dan ditampilkan di koran), memberikan bantuan untuk pemuda dan kegiatan kemasyarakatan, mengadakan iven dengan piala berlabelkan nama sang caleg, sibuk berkomentar untuk persoalan yang dicari-cari menjelang momen pemilihan dan tentu saja dengan menyebarkan poster, baliho dan media lainnya.
Untuk cara terakhir, yang terpenting adalah bagaimana foto caleg dimaksud bisa sebagus mungkin untuk dipandang. Baik dengan close up separoh badan, dengan tangan ke atas seperti penyair dan lain-lain. Tak mengherankan, selain percetakan, tukang foto dan studio foto juga ikut merengguk keuntungan menjelang Pemilu.
Dan, berbicara soal foto memoto, ada sekelumit kisah soal anggota dewan provinsi tetangga yang datang berkunjung ke kantor redaksi (saat itu penulis masih aktif di redaksi Singgalang). Sejumlah anggota dewan yang tengah berjalan masuk mulanya bersikap biasa, tapi tatkala dokumenter mengambil foto, mereka langsung ambil sikap siap untuk difoto. Pandangan ke atas berwibawa tapi tak berkedip sampai lampu blitz kamera menyala. Seakan-akan mereka sudah terlatih untuk diambil fotonya. Tapi, sudahlah!
Bagi segolongan masyarakat yang terbiasa efisien di belakang komputer, mereka akan merasa lebih enak mengenal calon yang akan dipilihnya secara lebih pribadi. Mengklik situs sang calon, melihat profil pribadinya, apa yang akan dan telah diperjuangkan serta komitmennya. Dari organisasi dan aktifitas caleg yang tertulis, masyarakat juga bisa mencek langsung di lapangan apakah sepak terjang sang tokoh memang benar-benar sesuai dengan profil di situsnya. Itu lebih meyakinkan dibandingkan kampanye orasi yang lebih banyak ‘jual kecap’.
Tak ada salahnya mencoba menggunakan teknologi internet untuk kampanye. Kalau tidak mau dengan pasang iklan di media online, memanfaatkan blog pribadi juga oke. Apalagi untuk blog bisa dimanfaatkan secara gratis. Sasarannya pun masyarakat yang kemungkinan suaranya bisa mempengaruhi masyarakat sekitarnya, setidaknya handai taulan dan keluarga. Karena, pada umumnya pengguna internet adalah wartawan, kaum intelektual dan orang kantoran.
Kalau Malaysia yang pada awalnya diperkirakan tidak efektif kampanye lewat internet dan ternyata berhasil, kenapa tidak bisa pula di Sumbar? Jika Obama bilang ‘Yes, we can’, barang kali kita juga bisa bilang, ‘Yes, we also can campaign in internet’. Melda Riani
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Singgalang, Minggu, 11 Januari 2009)
Menyambung tulisan dari salah seorang anggota Komisi Pemilihan Umum Sumbar, Husni Kamil Manik yang pernah dimuat di Harian Singgalang 16 Desember 2008 tentang membidik komunitas blogger. Dengan berbagai fasilitas dan dinamika blog, komunitas blogger dinilai Husni bakal menjadi mitra penting bagi suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2009. Tidak tertutup kemungkinan untuk Pemilu di Sumbar.
Namun, untuk media kampanye para calon legislatif, komunitas blogger dan pengguna internet sepertinya tidak menjadi sasaran kampanye yang dinilai menjanjikan oleh para politisi Sumbar. Karena kalau para caleg itu berpikiran yang sama dengan Barrack Obama ataupun Tony Pua Kiam Wee, politisi Malaysia yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen dengan mengandalkan kampanye di media blog, pastinya sudah banyak blog ataupun situs pribadi milik para caleg yang berseliweran di internet. Karena, Pemilu hanya tinggal kurang dari 90 hari lagi.
Saat menjelajah di dunia maya dengan kata kunci caleg Sumbar, para caleg yang memiliki blog ataupun web sendiri hanya bisa dihitung dengan jari. Sebutlah Jeffrie Geovanie (Caleg DPR RI untuk wilayah Sumbar I dari Partai Golkar), Indra Jaya Piliang (Caleg DPR RI untuk wilayah Sumbar II dari Partai Golkar) dan Irwan Prayitno (Caleg DPR RI dari PKS). Sementara, yang berdomisili di Sumbar, ada Marhadi Efendi dengan blogspotnya. Dari ke empat orang itu, kebanyakan lebih pada pencitraan lewat profil, aktifitas-aktifitas yang dilakukan serta pokok-pokok pikiran dalam tulisan. Hanya Marhadi Efendi yang terang-terangan mengampanyekan foto disertai pemberitahuan bahwa dirinya adalah caleg DPD RI no 22 Dapil Sumbar.
Yang menyedihkan, untuk blog Marhadi Efendi yang dibuat sejak September 2008, saat dibuka tanggal 6 Januari, baru 55 pengunjung yang melihat profil pribadinya. Mungkinkah memang pengguna internet yang masih sedikit di Sumbar? Karena, yang akan membuka data pribadi calon anggota dewan untuk daerah Sumbar kemungkinan besar adalah masyarakat Sumbar sendiri yang akan ikut memilih. Ataukah sifat dari blogger kita (di Indonesia dan Sumbar khususnya) lebih pada ‘just having fun’? Memanfaatkan blogger hanya untuk saling berkenalan dan mencari peluang pekerjaan, barangkali!
Merunut kembali pada perjalanan panjang kampanye Barrack Obama, presiden Amerika Serikat terpilih yang disebut-sebut mendulang sukses besar karena memanfaatkan internet sebagai media kampanye. Tidak hanya image dan pencitraan bagus yang ia dapat, tapi lebih dari itu: dana kampanye melalui pengiriman online yang jumlahnya bahkan tidak tertandingi oleh lawan politiknya. Ia diklaim berhasil memperoleh dana kampanye mencapai 1 miliar dolar AS.
Selain sosialisasi, Obama juga mendapatkan sekitar satu juta suporter dari jaringan internet seperti facebook, friendster, youtube dan myspace. Lewat jaringan itulah, Obama menyapa para pendukungnya serta masyarakat pemilih yang semula belum tentu akan memilihnya.
Untuk negara maju seperti AS, hal seperti itu tentulah sangat memungkinkan. Apalagi, pengguna internet di negara itu mencapai sekitar 80 persen dari jumlah penduduknya. Demikian juga halnya dengan Malaysia dengan pengguna internetnya sudah sekitar 59 persen.
Sementara Indonesia, pengguna internet diperkirakan baru sekitar 10 persen. Dan, Sumbar mungkin juga berkisar pada persentase itu atau malah kurang.
Malah, pada satu acara pertemuan blogger beberapa bulan yang lalu di Gedung Bagindo Aziz Chan, Padang, salah seorang mahasiswa perguruan tinggi Padang menyatakan, dari 20 rumah kos sekitar kampusnya, belum ada yang memiliki e-mail!
Akhirnya, pilihan kampanye kembali pada kampanye konservatif seperti yang sudah-sudah: memberikan bantuan untuk korban bencana (sambil foto bersalaman dan ditampilkan di koran), memberikan bantuan untuk pemuda dan kegiatan kemasyarakatan, mengadakan iven dengan piala berlabelkan nama sang caleg, sibuk berkomentar untuk persoalan yang dicari-cari menjelang momen pemilihan dan tentu saja dengan menyebarkan poster, baliho dan media lainnya.
Untuk cara terakhir, yang terpenting adalah bagaimana foto caleg dimaksud bisa sebagus mungkin untuk dipandang. Baik dengan close up separoh badan, dengan tangan ke atas seperti penyair dan lain-lain. Tak mengherankan, selain percetakan, tukang foto dan studio foto juga ikut merengguk keuntungan menjelang Pemilu.
Dan, berbicara soal foto memoto, ada sekelumit kisah soal anggota dewan provinsi tetangga yang datang berkunjung ke kantor redaksi (saat itu penulis masih aktif di redaksi Singgalang). Sejumlah anggota dewan yang tengah berjalan masuk mulanya bersikap biasa, tapi tatkala dokumenter mengambil foto, mereka langsung ambil sikap siap untuk difoto. Pandangan ke atas berwibawa tapi tak berkedip sampai lampu blitz kamera menyala. Seakan-akan mereka sudah terlatih untuk diambil fotonya. Tapi, sudahlah!
Bagi segolongan masyarakat yang terbiasa efisien di belakang komputer, mereka akan merasa lebih enak mengenal calon yang akan dipilihnya secara lebih pribadi. Mengklik situs sang calon, melihat profil pribadinya, apa yang akan dan telah diperjuangkan serta komitmennya. Dari organisasi dan aktifitas caleg yang tertulis, masyarakat juga bisa mencek langsung di lapangan apakah sepak terjang sang tokoh memang benar-benar sesuai dengan profil di situsnya. Itu lebih meyakinkan dibandingkan kampanye orasi yang lebih banyak ‘jual kecap’.
Tak ada salahnya mencoba menggunakan teknologi internet untuk kampanye. Kalau tidak mau dengan pasang iklan di media online, memanfaatkan blog pribadi juga oke. Apalagi untuk blog bisa dimanfaatkan secara gratis. Sasarannya pun masyarakat yang kemungkinan suaranya bisa mempengaruhi masyarakat sekitarnya, setidaknya handai taulan dan keluarga. Karena, pada umumnya pengguna internet adalah wartawan, kaum intelektual dan orang kantoran.
Kalau Malaysia yang pada awalnya diperkirakan tidak efektif kampanye lewat internet dan ternyata berhasil, kenapa tidak bisa pula di Sumbar? Jika Obama bilang ‘Yes, we can’, barang kali kita juga bisa bilang, ‘Yes, we also can campaign in internet’. Melda Riani
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Singgalang, Minggu, 11 Januari 2009)
Sumber :http://rinipiliang.multiply.com/reviews/item/33
Terima kasih buat dek rini yang sudah memberikan masukan-masukan dan juga beberapa penjabaran guna mengaktualisasikan teknik berkampanye di dunia maya yang sedang dilakukan oleh beberapa caleg . Saya pribadi melihat blog sebagai sebuah wahana baru untuk mengaktualisasikan diri say,a jadi bukan hanya untuk mempromosikan...disini saya bisa mengeluarkan pemikiran, ataupun menampilkan tulisan-tulisan yang saya pikir cukup bagus untuk disampaikan kembali kepada pembaca. Masalah...apakah dunia maya menjanjikan buat caleg berkampanye, itu saya serahkan kembali kepada pemilih dan penikmat dunia maya.
2 komentar:
calon anggota DPD RI harus hight tech,kl tidak jadi apa sumbar dan bangsa ini,kita sudah lelah jd masyrakat terbelakang terus,nah kl perubahan ini tidak dimulai oleh pemimpin negeri ini,maka sumbar akan terbelakang selamanya.....
calon DPD RI yang tidak faham teknologi jangan di pilih...
Hidup...Marhadi Efendi...
Kursi DPD RI di Gedung Musantara sudah menanti anda,goodluck..
Thanks for Sharing.. Nice Artikel
Visit Us
Posting Komentar