JAKARTA, SENIN - Setiap orang yang pernah melakukan perilaku berisiko, yaitu berhubungan seks berganti-ganti pasangan tanpa pengaman, menggunakan narkoba suntik dan sering berhubungan seks anal dengan pasangan berganti, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan konseling dan testing HIV untuk mengetahui status HIV-nya. Mengetahui status HIV adalah pintu masuk menuju layanan pencegahan dan pengobatna HIV/AIDS.
Menurut pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Prof Tjandra Yoga Aditama, Senin (1/12), di Jakarta, mengetahui status HIV juga merupakan kunci untuk memutus mata rantai penularan HIV.
Depkes mencatat, jumlah kumulatif orang dengan HIV positif yang pernah masuk layanan adalah sekitar 33.000 dan yang dilaporkan sebagai kasus AIDS adalah 15.136 orang per September 2008. Hasil surveil terpadu biolpogi perilaku tahun 2007 yang baru diluncurkan pada Oktober 2008 lalu memperlihatkan, tingginya prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi di 8 provinsi dengan prevalensi HIV rata-rata pada kelompok wanita pekerja seks 7,8 persen dan pada kelompok pengguna narkoba suntik 52,4 persen.
Pemeriksaan dan konseling HIV sukarela (Voluntary Counseling and Testing for HIV/VCT) maupun pemeriksaan dan konseling HIV atas inisiatif penyedia layanan (Provider Initiated HIV Testing and Counseling/ PITC) merupakan pendekatan yang saling melengkapi untuk menjangkau lebih banyak sasaran yang tahu status HIV-nya. "Keduanya tetap memegang prinsip-prinsip dasar testing HIV yaitu consent, counseling dan confidentiality dengan pendekatan sedikit berbeda," ujarnya.
Kekhususan pada VCT adalah, klien datang atas dorongan dirinya karena merasa berisiko, atau atas motivasi kelompok sebaya atau kelompoknya, kebanyakan datang dalam tahap masih tanpa ada keluhan tentang kesehatannya. Adapun pada PIT C, pra konseling dilakukan karena dokter dan pasien sudah terjalin komunikasi, dan kebanyakan datang dengan gejala dan dokter curiga gejala-gejala ini terkait AIDS sehingga perlu ditegakkan diagnosisnya agar pasien bisa mengakses terapi yang tepat.
PITC berkembang karena pada praktinya di rumah sakit banyak kesakitan atau kematian yang dicurigai terkait dengan AIDS tetapi tidak dapat ditegakkan diagnosisnya, yang menyebabkan hilangnya peluang pasien untuk memperoleh pengobatan yang tepat bagi penyakitnya. "Lebih dini seseorang diketahui status HIV-nya, maka akan terbuka akses terhadap layanan pencegahan dan pengobatan yang tepat," kata Tjandra Yoga.
"Yang pertama kali diperkenalkan adalah, VCT tetapi kemudian dalam perkembangannya disadari bahwa jangkauan untuk mendorong orang tahu status HIV-nya secara sukarela ternyata sangat lambat dan tidak bisa mengimbangi laju epidemi HIV," ujarnya menambahkan. Oleh karena itu, ada kesepakatan tingkat regional untuk menggunakan dua pendekatan,VCT dan PITC, secara bersamaan.
Banyak negara sudah menggunakan dan menerapkannya secara harmonis dan terbukti bisa menjangkau sasaran yang lebih luas misalnya India, Thailand, Kamboja dan Vietnam. Program PITC ini baru mulai masuk dan mendapat perhatian dari kalangan praktisi klinis sejak tahun 2007 lalu. Karena masih dalam tahap pengembangan, PITC belum bisa sempurna dijalankan.
Depkes bekerja sama dengan jejaring ikatan profesi tengah menyusun standar operasional prosedur dan melaksanakan sosialisasi maupun pelatihan untuk PITC di kalangan klinisi. Berdasarkan pengalaman di negara lain, PITC dapat memp erluas jangkauan sasaran dan meningkatkan akses terhadap layanan pengobatan HIV/AIDS.
"Program itu sudah mulai diterapkan dan para pakar PITC serta VCT sudah bertemu dan sedang menyusun petunjuk pelaksanaannya. Yang perlu diperhatikan ke depan adalah, PITC dilakukan untuk kepentingan pasien dan harus bisa dipertanggungjawabkan secara profesional pelaksanaannya. Dukungan pendanaan dialokasikan melalui dana global fund untuk komponen AIDS mulai tahun 2009," ujarnya.
Disadur dari sini
Menurut pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Prof Tjandra Yoga Aditama, Senin (1/12), di Jakarta, mengetahui status HIV juga merupakan kunci untuk memutus mata rantai penularan HIV.
Depkes mencatat, jumlah kumulatif orang dengan HIV positif yang pernah masuk layanan adalah sekitar 33.000 dan yang dilaporkan sebagai kasus AIDS adalah 15.136 orang per September 2008. Hasil surveil terpadu biolpogi perilaku tahun 2007 yang baru diluncurkan pada Oktober 2008 lalu memperlihatkan, tingginya prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi di 8 provinsi dengan prevalensi HIV rata-rata pada kelompok wanita pekerja seks 7,8 persen dan pada kelompok pengguna narkoba suntik 52,4 persen.
Pemeriksaan dan konseling HIV sukarela (Voluntary Counseling and Testing for HIV/VCT) maupun pemeriksaan dan konseling HIV atas inisiatif penyedia layanan (Provider Initiated HIV Testing and Counseling/ PITC) merupakan pendekatan yang saling melengkapi untuk menjangkau lebih banyak sasaran yang tahu status HIV-nya. "Keduanya tetap memegang prinsip-prinsip dasar testing HIV yaitu consent, counseling dan confidentiality dengan pendekatan sedikit berbeda," ujarnya.
Kekhususan pada VCT adalah, klien datang atas dorongan dirinya karena merasa berisiko, atau atas motivasi kelompok sebaya atau kelompoknya, kebanyakan datang dalam tahap masih tanpa ada keluhan tentang kesehatannya. Adapun pada PIT C, pra konseling dilakukan karena dokter dan pasien sudah terjalin komunikasi, dan kebanyakan datang dengan gejala dan dokter curiga gejala-gejala ini terkait AIDS sehingga perlu ditegakkan diagnosisnya agar pasien bisa mengakses terapi yang tepat.
PITC berkembang karena pada praktinya di rumah sakit banyak kesakitan atau kematian yang dicurigai terkait dengan AIDS tetapi tidak dapat ditegakkan diagnosisnya, yang menyebabkan hilangnya peluang pasien untuk memperoleh pengobatan yang tepat bagi penyakitnya. "Lebih dini seseorang diketahui status HIV-nya, maka akan terbuka akses terhadap layanan pencegahan dan pengobatan yang tepat," kata Tjandra Yoga.
"Yang pertama kali diperkenalkan adalah, VCT tetapi kemudian dalam perkembangannya disadari bahwa jangkauan untuk mendorong orang tahu status HIV-nya secara sukarela ternyata sangat lambat dan tidak bisa mengimbangi laju epidemi HIV," ujarnya menambahkan. Oleh karena itu, ada kesepakatan tingkat regional untuk menggunakan dua pendekatan,VCT dan PITC, secara bersamaan.
Banyak negara sudah menggunakan dan menerapkannya secara harmonis dan terbukti bisa menjangkau sasaran yang lebih luas misalnya India, Thailand, Kamboja dan Vietnam. Program PITC ini baru mulai masuk dan mendapat perhatian dari kalangan praktisi klinis sejak tahun 2007 lalu. Karena masih dalam tahap pengembangan, PITC belum bisa sempurna dijalankan.
Depkes bekerja sama dengan jejaring ikatan profesi tengah menyusun standar operasional prosedur dan melaksanakan sosialisasi maupun pelatihan untuk PITC di kalangan klinisi. Berdasarkan pengalaman di negara lain, PITC dapat memp erluas jangkauan sasaran dan meningkatkan akses terhadap layanan pengobatan HIV/AIDS.
"Program itu sudah mulai diterapkan dan para pakar PITC serta VCT sudah bertemu dan sedang menyusun petunjuk pelaksanaannya. Yang perlu diperhatikan ke depan adalah, PITC dilakukan untuk kepentingan pasien dan harus bisa dipertanggungjawabkan secara profesional pelaksanaannya. Dukungan pendanaan dialokasikan melalui dana global fund untuk komponen AIDS mulai tahun 2009," ujarnya.
Disadur dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar